Nahagar lebih memahami apa saja faktor-faktor penyebab krisis ekonomi sebuah Negara, berikut beberapa hal tersebut antara lain : - Nilai Tukar Rupiah. Perubahan nilai tukar rupiah dapat mempengaruhi kondisi ekonomi sebuah Negara. ini dikarenakan para pengusaha yang selalu bertransaksi export dan import akan mengalami kerugian karena krisis

Jakarta - Krisis global telah menyeret dampak ke semua negara, tak terkecuali Indonesia meski pada skala yang berbeda-beda. Indikasi krisis global sebenarnya sudah bisa diendus sejak tahun laporan dari "Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014" yang dirilis Bank Indonesia, Rabu 15/4/2009. Laporan BI tersebut menjelaskan, pada 9 Agustus 2007, BNP Paribas Prancis telah menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan sekuritas yang terkait dengan subprime mortgage dari AS. Pernyataan BNP Paribas tersebut merupakan bibit-bibit terjadinya krisis yang selanjutnya meluar dan menjadi krisis likuiditas terburuk di berbagai belahan dunia. Subprime mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan mortgage yang diberikan kepada debitor dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni sebesar US$ 200 miliar pada 2002 menjadi US$ 500 miliar pada subprime mortgage inilah yang menjadi awal terciptanya krisis, namun sebenarnya jumlahnya relatif kecil dibandingkan keseluruhan kerugian yang pada akhirnya dialami oleh perekonomian secara keseluruhan. Kerugian besar yang terjadi sebenarnya bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage tersebut ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang kemudian diperdagangkan di pasar finansial tahap pertama, sekuritisasi dilaksanakan terhadap sejumlah subprime mortgage sehingga menjadi sekuritas yang disebut mortgage-backed securities MBS. Dalam sistem keuangan modern, praktik sekuritisasi MBS ini merupakan suatu hal yang telah lazim, dan bahkan pada tahun 2006 jumlah kredit perumahan di AS mortgage yang disekuritisasi menjadi MBS telah mencapai hampir 60% dari seluruh outstanding kredit perumahan. Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah antara lain lembaga Fannie Mae dan Freddie Mac maupun swasta. Dalam proses sekuritisasi ini, pihak ketiga seringkali melakukan pengemasan dengan melakukan penggabungan sejumlah mortgage, yang selanjutnya dijual kepada investor yang berminat. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar default, maka pihak ketiga ini sekaligus bertindak sebagai sekuritisasi mortgage ini ternyata tidak berhenti sampai di sini. Melalui rekayasa keuangan financial engineering yang kompleks, MBS kemudian diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt Obligations CDOs. Sejalan dengan jumlah MBS yang terus meningkat, persentase jumlah MBS yang diresekuritisasi menjadi CDOs juga mengalami peningkatan pesat. Dalam skala global, total penerbitan CDOs pada 2006 telah melebihi US$ 500 milar, dengan separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari tahun 2004 total penerbitan CDOs global baru berada pada level sekitar US$ 150 miliar. Selain dalam bentuk CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa bentuk sekuritas lain yang sudah sulit dilacak bentuk maupun jumlahnya, diantaranya sekuritas SIV Structured Investment Vehicles. Maraknya perdagangan CDOs di pasar global juga dipengaruhi hasil rating yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung underpricing terhadap risiko dari produk-produk derivatif di oleh perubahan arah kebijakan moneter AS yang mulai berubah menjadi ketat memasuki pertengahan 2004, tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan terus berlangsung sampai dengan 2006. Kondisi ini pada akhirnya memberi pukulan berat pada pasar perumahan AS, yang ditandai dengan banyaknya debitur yang mengalami gagal bayar. Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di AS, akhirnya menyeret semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam penjaminan ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar. Salah satu yang terkena dampak buruk dan harus bangkrut diantaranya adalah Lehman Brothers. Raksasa-raksasa finansial tak ada satupun yang bisa lari dari dampak buruk krisis rentetan kejadian setelah pernyataan tidak sanggup bayar dari BNP Paribas, yang sekaligus menandai perjalanan krisis terburuk sejak perang dunia II 2007Agustus BNP Paribas tidak sanggup mencairkan sekuritas yang terkait dengan subprime mortgage di AS. The Fed dan ECB memompa likuditas ke pasar masing-masing US$ 24 miliar dan hampir 95 miliar euro. The Fed menurunkan suku bunga menjadi 4,75%.Oktober Kerugian besar dialami bank maupun lembaga keuangan seperti UBS Bank Swiss, Citibank, dan Merryl Lynch. Bank of England BOE melakukan injeksi likuiditas sebesar 10 miliar poundsterling akibat penarikan uang besar-besaran bank run. The Fed kembali menurunkan suku bunga 25 bps menjadi 4,5%.Desember The Fed mengambil langkah memompa likuiditas melalui kerjasama dengan lima bank sentral lain, yaitu Bank of Canada, BOE, Bank of Japan, ECB, dan Swiss National Bank. The Fed memangkas suku bunga 25 bps menjadi 4,25%.Tahun 2008Januari-Maret Pasar saham global berjatuhan, terendah sejak September 2001. The Fed kembali memangkas suku bunganya dalam 3 bulan sebanyak 200 bps menjadi 2,25% dan terus melakukan injeksi likuiditas. Bear Stearns, salah satu dari lima bank investasi terbesar di AS, terpaksa diakuisisi oleh rivalnya JP Morgan Chase, menyusul kerugian besar yang Pemerintah AS memutuskan untuk menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac, yang menjadi progam bailout terbesar dalam sejarah AS selama ini. Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, menjadikannya sebagai bank investasi besar pertama yang benar-benar mengalami kolaps sejak terjadinya krisis. American International Group AIG, perusahaan asuransi terbesar di AS, juga diambang kebrangkutan. The Fed memutuskan untuk memberikan bailout sebesar US$ 85 miliar. Dampak krisis keuangan telah semakin berimbas ke sektor riil, seperti tercermin dari turunnya angka penjualan eceran dan meningkatnya pengangguran di AS dan berbagai negara Intensitas krisis ke seluruh dunia semakin meningkat, dipicu oleh kebangkrutan Lehman Brothers. Flight to quality memicu outflows yang menyebabkan melemahnya nilai tukar. Pemerintah AS akhirnya mengumumkan paket penyelamatan sektor finansial sebesar US$ 700 miliar, Inggris mengumumkan paket penyelamatan perbankan sedikitnya sebesar 50 miliar poundsterling. Jerman menyediakan bantuan sebesar 50 miliar poundsterling untuk menyelamatkan Hypo Real Estate Bank. Tindakan tersebut juga ditambah aksi bersama penurunan suku bunga sebesar 0,5% dengan lima bank sentral lain yaitu ECB, BoE, Bank of Canada, Swedia, dan Tiga negara yaitu Ukraina, Pakistan, dan Eslandia menerima bantuan finansial dari IMF, disusul oleh Hongaria dan Belarusia. AS secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi oleh Economic Research National Bureau of NBER. The Fed terus menurunkan suku bunga hingga mencapai level 0,25%, yang merupakan level terendah dalam 2009Januari-Februari Angka pengangguran di AS pada bulan Desember 2008 tercatat sebesar 7,2%, yang merupakan angka tertinggi dalam 16 tahun terakhir. Ekspor Cina dilaporkan mengalami penurunan terbesar dalam satu dekade terakhir. Inggris secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi. Senat AS akhirnya menyetujui paket penyelamatan ekonomi senilai US$ 838 miliar. Pada bulan yang sama, US Treasury mengumumkan paket penyelamatan bank senilai US$ 1,5 triliun. qom/ir

MenurutSuahasil, kondisi di Amerika Serikat bukanlah kondisi yang sederhana, melainkan memiliki dampak yang luar biasa terhadap ekonomi negara lain. "Inflasi 9,1 persen di Amerika erikat itu bukan sesuatu yang simpel, bukan sesuatu yang sering terjadi, bahkan dia terjadi dalam kondisi yang sangat sangat jarang sekali," kata Suahasil dalam Mid
ï»żSyahirah Nazwa Putri Politik Thursday, 13 Jan 2022, 1412 WIB Sejak era globalisasi, isu krisis keuangan menjadi suatu hal yang kerap sekali terjadi dibandingkan era-era sebelumnya. Berita terkait krisis pada sektor keuangan global juga masih hangat untuk dibicarakan saat ini, hal ini dikarenakan dampaknya yang berpengaruh dan menular ke kawasan ekonomi lain khususnya Eropa dan Asia. Adapun salah satu alasan utamanya yakni, terdapat kemajuan dibidang teknologi informasi yang dimana dapat memperbesar gelombang krisis sekaligus dapat mempercepat penyebarannya dari satu daerah ke daerah/negara lain. Termasuk halnya perkembangan yang cukup pesat pada sektor keuangan. Dalam sejarah juga telah terukir beberapa serangkaian krisis keuangan yang telah dialami oleh banyak negara secara destruktif, dan krisis keuangan tersebut secara langsung merusak akar-akar perekonomian setiap negara tersebut. Seperti pertengahan tahun 1990 - 2001 yang dimana sejumlah negara merasakan dampak krisis keuangan global dengan waktu yang berbeda. Adapun negara-negara tersebut, seperti - Meksiko mengalami krisis perekonomian pada tahun 1994 - 1995 - Negara - negara di kawasan Asia Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup parah pada tahun 1997 - 1998. Dampak krisis keuangan yang dialami oleh Indonesia disebabkan oleh terdapatnya penarikan dana pada valuta asing khususnya terkait dollar Amerika Serikat oleh beberapa lembaga keuangan investor/kreditor di AS - Rusia mengalami krisis keuangan pada tahun 1998 - Brazil mengalami krisis keuangan pada tahun 1999 - Argentina dan Turki mengalami krisis finansial pada tahun 2001 Pada dua dekade terakhir ini, tercatat dua krisis keuangan besar-besaran yang terjadi pada Asia Timur 1997 dan Krisis keuangan Global 2008. Menurut referensi lain, krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997 disebabkan oleh kurangnya transparansi sekaligus kredibilitas oleh pemerintah yang kemudian menciptakan distorsi struktural. Dan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008 dibuktikan dengan terdapatnya dan didukungnya inovasi alternatif pada produk keuangan seperti praktik sekuritisasi dan credit default swap. Jika kita menelusuri lebih dalam lagi, awal mula terciptanya krisis ekonomi global ini untuk yang pertama kali terjadi pada negara Amerika Serikat yakni pada tahun 2001-2005. Hal ini dikarenakan terdapatnya penurunan investasi yang disebabkan oleh turunnya nilai-nilai saham teknologi, kemudian mengalihkan investasi tersebut ke properti yang berguna untuk kepemilikan rumah. Realitanya, situasi ekonomi yang serut dialami oleh Amerika disebabkan juga karena krisis kredit perumahan yang bernilai/berspek rendah subprime mortgage, tentunya hal ini berdampak dengan krisis sektor finansial yang lebih mendalam. Krisis keuangan Amerika ini juga mempunyai dampak cukup besar yang dirasakan oleh Indonesia, seperti kerugian yang dialami oleh beberapa perusahaan Indonesia yang sedang berinvestasi pada institusi - institusi finansial Amerika Serikat. Dan adapun beberapa dampak lainnya dirasakan oleh Indonesia secara tidak langsung seperti - Turunnya likuiditas - Naik dan meningkatnya suku bunga - Menurunnya harga suatu komoditas - Melemahnya nilai tukar rupiah - Melemahnya pertumbuhan/perkembangan sumber dana Hal-hal seperti ini mendatangkan banyak pertanyaan dan kekhawatiran jika krisis perekonomian global tersebut kembali datang lagi. Kini setiap pemerintahan tengah berusaha keras untuk mengantisipasi dan berjaga-jaga terhadap efek negatif yang ditimbulkan oleh krisis keuangan di Amerika. Pada perspektif persaingan, krisis keuangan tentunya akan mendatangkan beberapa konsekuensi, khususnya pada mekanisme pasar. Krisis perekonomian merupakan suatu fenomena yang sangat dihindari oleh seluruh negara, khususnya negara maju. Dampaknya bukan hanya terkait keterlambatan ekonomi saja, namun berdampak pada penurunan permintaan yang ada di luar maupun didalam sebuah negara domestik. Fenomena krisis keuangan global yang didasarkan oleh beberapa indikasi terjadinya instabilitas makro ekonomi, kini memberikan beberapa pandangan baru terkait siklus perekonomian di dunia. Diantara banyaknya pandangan tersebut, menjelaskan bahwa perekonomian dunia saat ini dapat dianggap telah memasuki masa volatilitas rendah great moderation. Sedangkan menurut pandangan lain, menyebutkan bahwa perekonomian dunia telah mengalami sesi lost decades, yang dimana perlambatan ekonomi dunia banyak terjadi pada negara-negara berkembang pada tahun 1980-1990. Hal ini dapat dikatakan bahwa fenomena krisis keuangan global yang telah melanda di banyak negara seperti pada kawasan Eropa, Amerika, Asia Pasifik dan sebagainya sudah pasti tidak dapat terhindarkan, dan tidak lepas dari dampak dan pengaruh negatif lainnya pada perekonomian manapun. Dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi yang ada di negara-negara tersebut, mengakibatkan pengurangan/penurunan produksi industri pada sebuah negara. Sedangkan sebagian besar industri -industri di dunia masih menggunakan energi batubara yang berperan sebagai sumber energi penggerak. Krisis keuangan yang telah melanda di banyak negara dunia, termasuk negara dengan tujuan ekspor batubara Indonesia membuat melemahnya dunia industri pertambangan batubara di Indonesia. Pada sektor pertanian juga mengalami dampak yang serupa, seperti menciptakan keterlambatan terkait menurunnya permintaan ekspor dan menurunnya harga komoditas dari sebuah perkebunan. Bagi Masyarakat Internasional, fenomena ini mempunyai dampak yang sangat besar dan terasa di segala sektor, dimulai dari sistem keuangan sampai dengan kemiskinan. Menurut saya pribadi, krisis keuangan global juga berdampak pada perekonomian nasional dan regional, yang dimana dampak-dampak tersebut sulit untuk dihindari. Bahkan untuk kedepannya kita tidak dapat memprediksi kondisi perekonomian global. Namun setidaknya setiap pemerintah dapat berperan dengan peningkatan belanja pemerintah, yang dimana outputnya dapat mendorong dan mendukung peningkatan secara teoritis belanja pemerintah. Dan setiap pemerintah juga baik di pusat maupun daerah dapat menciptakan bentuk kegiatan lapangan kerja. Tidak terlepas juga dari peran Bank Indonesia yang dimana dapat berupa pelonggaran dari kebijakan moneter dengan menurunkan BI rate yang menjadi referensi suku bunga di perbankan. Daftar Pustaka Afkar, T. 2015. Analisis Daya Tahan Perbankan Syariah dalam Krisis Keuangan Global-Disertasi. 1–9. Aryani, Silfi, and Den Yealta. "Implikasi Krisis Keuangan Global terhadap Industri Batubara Indonesia Tahun 2008-2013." Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, vol. 2, no. 2, Oct. 2015. Ismail, M., Indrawati, Y. 2020. Paradigma Baru Kebijakan Moneter Menakar Pelajaran Krisis Keuangan Global. Jember, Jawa Timur. Pustaka Abadi. Krisis Keuangan Global dalam Perspektif Persaingan KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA. 2020, March 12. KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Persaingan Sehat Sejahterakan Rakyat. M. Zidny Nafi’ Hasbi. 2019. Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perbankan Di Indonesia. LISAN AL-HAL Jurnal Pengembangan Pemikiran Dan Kebudayaan, 132, 385–400. Prasmuko, A., & Anugrah, D. F. 2010. Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 123, 377–411. Sutrisno, B., & Gumanti, T. A. 2017. Pengaruh krisis keuangan global dan karakteristik perusahaan terhadap cash holding perusahaan di Indonesia. Jurnal Siasat Bisnis, 202, 130–142. View of Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia. 2021. View of KRISIS KEUANGAN GLOBAL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI ANALISA DARI PEREKONOMIAN ASIA TIMUR. 2021. krisiskeuangan masyarakatinternasional ekonomipolitik Disclaimer Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku UU Pers, UU ITE, dan KUHP. Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel. Berita Terkait Terpopuler di Politik
Puncadan faktor juga bermulanya kemelesetan adalah disebabkan hutang yang tinggi. Hutang isi rumah di Malaysia sahaja antara tertinggi di Asia. Jika hutang terus tidak terkawal dek kerana masalah kena buang kerja & ketidakupayaan membayar pinjaman bank, ia mempercepatkan lagi krisis ekonomi terutamanya selepas tamatnya tempoh moratorium
Jakarta - Krisis pangan global di depan mata, itu bukan pernyataan isapan jempol. Hari ini dunia diterpa oleh tiga fenomena C beruntun yang berimplikasi pada munculnya krisis pangan global. Tiga C itu adalah Climate change, COVID-19, dan Conflict. Sebelum terjadi Konflik Ukraina harga pangan sudah didorong ke atas oleh berbagai faktor, terutama kekeringan sebagai imbas dari climate change yang mempengaruhi negara-negara penghasil tanaman utama dan guncangan rantai pasokan pangan akibat pandemi perang Ukraina tidak diragukan memperparah dampak negatif dari guncangan produksi pangan global tersebut. Ketika pelabuhan Ukraina diblokade akibat konflik Rusia-Ukraina berdampak volume ekspor turun secara signifikan. Pada Juni 2020, Ukraina mengekspor tidak kurang dari satu juta ton gandum, jagung, dan barley menjadi 40 persen lebih rendah pada bulan yang sama pada 2021, menurut kementerian pertanian juga menyebabkan lonjakan harga BBM yang menimbulkan lonjakan harga energi kawasan Eropa. Imbas ikutannya memukul produksi pupuk nitrogen, nutrisi tanaman utama yang menimbulkan masalah kelangkaan input penting pertanian yakni pupuk. Ukraina sebagai negara eksportir besar untuk pasokan biji-bijian dan gandum mengalami kehilangan kemampuan suplainya akibat perang tersebut. Melambungnya harga gandum dan biji-bijian berimbas pada kawasan dunia lain, mengapa? Harga gandum yang tinggi membuat lebih banyak konsumen dunia potensial beralih ke beras sebagai substitusi. Catatan pentingnya, hanya sekitar 10 persen dari total produksi biji-bijian global yang diekspor. Dampak ikutan penting dengan naiknya harga gandum dan meningkatkan permintaan beras global akibat beralihnya konsumen gandum ke beras akan menyebabkan guncangan permintaan pangan pokok penting itu secara global. Dan, hal ini berpotensi menghadirkan restriksi ekspor oleh negara-negara eksportir pangan yang berdampak harga internasional pangan non gandum akan melambung tinggiAmbil contoh beras, saat ini tingkat persediaan memang tinggi di negara-negara produsen terkemuka seperti India, Thailand, dan Vietnam. Kekhawatiran para pakar ekonomi pangan global adalah ketika kenaikan harga gandum menyebabkan konsumen global mensubstitusi gandum dengan beras, maka hal ini dapat menurunkan stok beras global yang ada. Selanjutnya akan memicu pembatasan ekspor oleh produsen beras utama dalam rangka menjaga kepentingan pangan nasional mereka menghadapi panic buying global dari meningkatnya harga gandum yang bisa menyebabkan harga beras dunia juga akan melambung tinggi. Pengalaman menunjukkan pada 2007-08 pembatasan ekspor beras yang dilakukan oleh India dan Vietnam, dikombinasikan dengan pembelian panik oleh importir beras besar seperti Filipina, menyebabkan harga beras dunia naik lebih dari dua kali sebelum Rusia menginvasi Ukraina, kerawanan pangan telah mencapai rekor tertinggi. Karena pandemi, kekeringan, dan konflik regional lainnya, hampir 770 juta orang kelaparan pada 2021 —jumlah tertinggi sejak 2006. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, FAO memperkirakan perang di Ukraina meningkatkan jumlah orang yang kekurangan gizi hingga 13 juta orang tahun ini dan 17 juta orang lagi pada 2023. Sementara itu Bank Dunia mengingatkan bahwa untuk setiap kenaikan satu persentase harga pangan, tambahan 10 juta orang diperkirakan akan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrim khususnya untuk sebagian besar Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tengah, di mana konsumsi bahan pokok melebihi produksi. Di samping itu ditemukan juga fakta bahwa banyak negara berkembang menghadapi beban tambahan berupa penurunan mata uang mereka selain kenaikan harga pangan. Dampak negatifnya sangat besar dirasakan oleh negara-negara di Timur Tengah dan Afrika yang bergantung pada impor dari Ukraina dan Rusia. Mesir telah meminta bantuan IMF, inflasi di Turki telah melonjak hampir 80 persen, sementara Bank Dunia menggambarkan krisis di Lebanon sebagai salah satu yang paling parah dalam 100 tahun terakhir. Bahkan negara-negara yang tidak membeli dari Rusia atau Ukraina tetapi merupakan importir bersih komoditas pertanian yang tinggi menghadapi biaya impor yang lebih tinggi. Harga makanan pokok seperti roti, pasta, dan minyak goreng naik dengan cepat. Sepotong roti di Bulgaria harganya hampir 50 persen lebih mahal pada Juni dibandingkan tahun sebelumnya. Minyak goreng di Spanyol sekarang hampir dua kali lebih mahal dibandingkan tahun lalu dan harga gula di Polandia telah meningkat 40 juga menunjukkan bahwa krisis pangan bisa berimbas pada guncangan politik. Lonjakan harga pangan pada 2007-08 dan 2010-11 yang lalu telah mengakibatkan kerusuhan di seluruh dunia, dan harga pangan yang melambung tinggi merupakan faktor kunci pemacu kerusuhan yang baru-baru ini melanda Sri apa yang harus kita lakukan menghadapi krisis pangan global yang auranya mulai terasa di Indonesia dengan fenomena kenaikan harga sejumlah pangan yang kita rasakan sehari-hari saat ini? Dalam menghadapi krisis pangan, peran negara dominan di dalamnya. Pelajaran dari great depression, krisis ekonomi dunia pada 1930-an telah memberikan justifikasi empiris dan pembenaran teoritis untuk pertama kalinya dalam pemikiran ekonomi modern tentang urgensi negara harus menjadi panglima ketika berhadapan dengan negara dalam hal ini pemerintah kita harusnya berperan menghadapi krisis pangan ini? Secara domestik kekuatan logistik pangan negara harus dalam keadaan prima. Dalam kondisi krisis semua logistik pangan yang ada, apakah itu di BUMN seperti Bulog, swasta, atau masyarakat harus menjadi logistik pangan negara. Artinya dalam keadaan krisis pangan, negara punya wewenang untuk mendistribusikan dan mengalokasikan semua pangan yang ada di Indonesia dalam rangka mencegah terjadinya dampak yang lebih fatal. Kita mengingatkan hal ini karena manajemen logistik pangan negara kita masih lemah jika menghadapi krisis pangan. Pemerintah relatif hanya punya cadangan pangan nasional untuk beras. Sedangkan, untuk pangan lain relatif pemerintah tidak punya kapasitas untuk melakukan stabilisasi secara prima jika terjadi gejolak harga karena pemerintah tidak punya cadangan pangan non beras di lumbung pangan pemerintah Bulog dalam jumlah untuk mencegah terjadinya penimbunan pembentukan logistik pangan untuk kepentingan spekulasi dan mengeruk untung di tengah krisis pemerintah belum mampu mengatasinya. Kita bisa menyaksikan fenomena itu ketika terjadinya gejolak harga minyak goreng baru-baru ini. Pemerintah terlihat tertatih-tatih mengatasinya karena tidak punya stok minyak goreng di lumbung Bulog atau BUMN pangan lainnya dan hanya mengandalkan stok minyak goreng yang ada di swasta. Dan, masalahnya pemerintah menunjukkan performa bukan panglima yang mumpuni mengarahkan, mengalokasikan penggunaan logistik minyak goreng yang dimiliki swasta tersebut. Dengan demikian ada beberapa catatan penting yang perlu kita ingatkan ulang. Pertama, bahwa pemerintah adalah panglima utama ketika berhadapan dengan krisis pangan. Kedua, semua cadangan pangan baik yang ada di swasta, rumah tangga, dan BUMN semuanya adalah cadangan pangan negara saat terjadi krisis pangan di mana pengelolaan dan pendistribusiannya diatur oleh negara saat terjadi krisis pangan. Ketiga, keadaan krisis pangan secara objektif harus disepakati oleh pemerintah dan DPR. Tiga item penting tersebut perlu diratifikasi dalam Irawan Guru Besar ekonomi pertanian Universitas BengkuluSimak Video 'Prediksi Jokowi 800 Juta Orang di Dunia Terancam Kelaparan'[GambasVideo 20detik] mmu/mmu Yangbukan faktor pengaruh krisis ekonomi global. This preview shows page 13 - 17 out of 128 pages. 40.Yang bukan faktor pengaruh krisis ekonomi global adalah.. a. Kemiskinan b. Kemandirian kerja c. Keterbelakangan d. Pengangguran e. Keterburukan hidup. Jakarta - Mengapa terjadi kemorosotan yang tajam atas Indeks Harga Saham Gabungan IHSG di Bursa Efek Indonesia BEI. Juga anjloknya nilai tukar Rupiah atas beberapa mata uang regional dan internasional. Pada awalnya krisis hanya sebatas melanda negara Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara yang bergabung di Uni Eropa. Namun, aliran gelombang krisis yang keras ternyata sampai di kawasan Asia. Para investor yang menanamkan modalnya pada sektor non riil mulai menarik kembali dana-dana mereka yang tertanam di lantai bursa. Penarikan dana dengan denominasi mata uang asing oleh investor di beberapa negara kawasan Asia tujuannya adalah menutupi kerugian keuangan yang tengah melanda negara-negara investor tersebut. Kebijakan penarikan dana semakin agresif seiring dengan keringnya likuiditas negara-negara investor. Perilaku ini bisa kita cermati dengan meroketnya bunga pasar uang antar Indonesia kejatuhan IHSG yang pada penutupan 27/10/2008 mencapai 6,96% atau turun sebesar 48,96 point dengan total IHSG sebesar 1,166 point merupakan nilai yang sama di tahun 2000. Merosotnya IHSG yang mencapai angka 6,96% adalah penurunan tertinggi untuk kawasan Asia. Kecuali Bursa Filipina yang mencapai 12%. Otoritas Bursa terpaksa mensuspensi perdagangan saham pada sesi pertama. Selain itu bursa regional seperti Han Seng, Nikkei, Kospi, Seoul, dan Strait Times Singapore turun rata-rata sekitar 3%-5%.Gejolak penarikan dana oleh investor asing terlihat pada Surat Utang Negara. Tercatat sedikitnya Rp 2,1 triliun dana berdenominasi asing yang tertanam di SUN telah keluar. Derasnya penarikan dana oleh investor berimbas kepada pelemahan nilai tukar rupiahterhadap beberapa mata uang asing. Pemerintah lewat Bank Indonesia mencoba untuk menahan laju pelemahan rupiah lewat intervensi pasar. Namun, tentu saja dengan kekuatan yang seharunya sudah terkalkulasi. Anjloknya beberapa mata uang asing atas dolar Amerika juga melanda negara-negara Asia lainnya. Pelemahan yang terasa terjadi atas mata uang dolar Australia yang terdepresiasi lebih dari 10% atas dolar banyak pihak mengatakan kejatuhan indeks saham di suatu negara bukan merupakan indikator ekonomi suatu negara. Tetapi, imbas secara psikologi ternyata menguat pengaruhnya kepada sektor ekonomi. Kondisi-kondisi di atas menggambarkan betapa besarnya nilai peredaran-peredaran mata uang asing yang tertanam lewat beberapa instrumen ekonomi sektor non riil. Bursa saham, obligasi, dan Surat Utang Negara masih menjadi idola bagi para pemodal untuk menanamkan saja pemerintah lewat beberapa kebijakan serta kemudahan-kemudahan berinvestasi mengajak para investor untuk menanamkan uangnya pada sektor riil. Lantas sejauh mana pengaruh krisis keuangan global yang mengakibatkan anjloknya IHSG dan merosotnya nilai tukar rupiah kepada sektor rill? Pada beberapa komoditas yang bersentuhan langsung dengan petani kecil atau pengusaha kecil dan menengah yang berorientasi ekspor sangat dirasakan sekali dampak terjadinya krisis keuangan global ini. Pesanan-pesanan dari pembeli yang berkedudukan di luar negeri terpaksa dibatalkan. Mereka lebih memfokuskan diri kepada restrukturisasi keuangan internal. Terlebih lagi semakin sulitnya mendapat kucuran kredit dari perbankan dalam juga yang dialami beberapa petani yang menggarap komoditas-komoditas seperti kelapa sawit, karet, dan kopra. Ketiga komoditas tersebut di lapangan terjadi penurunan harga jual yang mencapai 60%-70%. Akibat penurunan yang tajam tersebut membuat petani tidak mampu lagi melakukan produksi dikarenakan hasil penjualan yang diterima masih di bawah ongkos produksi secara total keseluruhan. Sektor properti yang sangat terasa menerima imbasan dari krisis ini. Pertumbuhan industri properti dalam negeri yang lamban ditandai dengan adanya penjadwalan kembali atas rencana proyek yang sudah ditetapkan. Perbankan sepertinya menyetop sementara untuk pemberian kredit sektor properti. Bagi industri properti pendanaan dari perbankan merupakan kebutuhan dana yang vital di samping mereka mengalokasikan dana yang sangat dirasa adalah kenaikan suku bunga kredit pemilikan rumah. Dengan ditetapkannya suku bunga acuan atau BI rate yang baru sebesar akan menambah cost of fund dari pengembang jika sumber dana berasal dari pinjaman. Kenaikan ini memberatkan sisi konsumen yang akan menanggung kisaran bunga kredit kepemilikan sebesar 13%-16%. Di tengah krisis keuangan yang mendera seluruh dunia masih ada berita baik dengan menurunnya harga minyak dunia. Penurunan harga minyak dunia yang pagi mencapai USD 62,86 per barel membawa sesuatu yang positif bagi APBN. Khususnya penurunan bagi pos tarif subsidi. Sampai kapan krisis keuangan global akan berakhir? Siapa pun tidak bisa memprediksi. Terpenting adalah bagaimana agar sisi fundamental ekonomi semakin kuat. Helmy HarahapPerumahan Puri Beta Cluster Hujan Mas No 12Tangeranghelmy_harahap msh/msh Selainitu, jawaban atas pertanyaan Yang bukan factor pengaruh krisis ekonomi global adalah? sebelum dipublikasikan dilakukan verifikasi oleh para tim editor. Verifikasi jawaban pada pertanyaan Yang bukan factor pengaruh krisis ekonomi global adalah? melalui sumber buku, artikel, jurnal, dan blog yang ada di internet. Minggu ini, di saat para menteri beserta gubernur bank-bank sentral G20 sedang berkumpul di Bali, mereka menghadapi prospek ekonomi global yang telah meredup secara signifikan. Terakhir kalinya G20 bertemu bulan April lalu, IMF baru saja memangkas perkiraan pertumbuhan globalnya menjadi 3,6 persen untuk tahun ini dan selanjutnya—dan kami pun memperingatkan bahwa kondisi bisa memburuk mengingat adanya potensi risiko penurunan. Saat ini, beberapa risiko tersebut telah terwujud. Berbagai krisis yang dihadapi dunia pun semakin intens. Tragedi kemanusiaan dari perang di Ukraina semakin parah. Demikian pula dengan dampak ekonominya, terutama guncangan harga komoditas yang memperlambat pertumbuhan dan memperburuk krisis biaya hidup yang mempengaruhi ratusan juta orang—terutama orang miskin yang tidak mampu menghidupi keluarga mereka. Situasi ini hanya akan memburuk. Tingkat inflasi lebih tinggi dari yang diprakirakan, bahkan meluas ke sektor selain pangan dan energi. Hal ini telah mendorong bank-bank sentral utama untuk mengumumkan pengetatan moneter lebih lanjut sebagai hal yang amat diperlukan, tetapi akan membebani upaya-upaya pemulihan. Disrupsi terkait pandemi yang terus berlanjut, terutama di Tiongkok, dan hambatan-hambatan baru pada rantai pasokan global menghambat aktivitas ekonomi. Akibatnya, indikator terbaru menyiratkan kuartal kedua yang lemah—dan kami akan memproyeksikan penurunan lebih lanjut bagi pertumbuhan global tahun 2022 dan 2023 dalam World Economic Outlook Update kami yang akan keluar di bulan ini. Tentu, prospek ekonomi tersebut memang amat tidak pasti. Bayangkan, adanya gangguan lanjutan dalam pasokan gas alam ke Eropa dapat menjerumuskan perekonomian banyak negara ke dalam resesi dan memicu krisis energi global. Ini hanyalah salah satu faktor yang dapat memperburuk situasi yang sudah sulit. 2022 akan menjadi tahun yang menantang—dan 2023 kemungkinan akan lebih berat dengan bertambahnya risiko resesi. Karena itulah, kita perlu tindakan tegas dan kerja sama internasional yang kuat, dipimpin oleh G20. Laporan baru kami untuk G20 menguraikan kebijakan yang dapat digunakan negara untuk mengarungi lautan permasalahan ini. Ada tiga prioritas yang saya soroti. Pertama, negara harus mengerahkan segala upaya untuk menurunkan tingkat inflasi yang tinggi Mengapa? Karena tingkat inflasi yang tinggi secara terus-menerus dapat menenggelamkan upaya pemulihan dan semakin merusak standar hidup, terutama bagi masyarakat rentan. Inflasi telah mencapai level tertinggi selama beberapa dekade di banyak negara, dengan inflasi IHK headline inflation dan inti core inflation yang terus meningkat Gambar 1. Hal ini telah memicu siklus pengetatan moneter yang semakin tersinkronisasi 75 bank sentral—atau sekitar tiga perempat dari bank sentral yang kami pantau—telah menaikkan suku bunga sejak Juli 2021, dan mereka telah melakukannya rata-rata 3,8 kali. Untuk negara emerging dan berkembang, di mana kebijakan suku bunga tersebut dinaikkan dengan lebih cepat, total peningkatan rata-rata adalah 2,3 poin persentase—hampir dua kali lipat negara maju, yaitu 1,7 poin persentase. Sebagian besar bank sentral perlu terus memperketat kebijakan moneter secara tegas. Ini sangat mendesak untuk dilakukan, terutama di negara dengan ekspektasi inflasi yang mulai mengalami de-anchor yaitu perubahan harga-harga dalam jangka pendek mempengaruhi ekspektasi inflasi jangka panjang. Tanpa adanya tindakan, negara-negara ini dapat menghadapi spiral kerusakan upah-harga yang akan membutuhkan pengetatan moneter lebih kuat, dengan dampak yang lebih besar lagi terhadap pertumbuhan dan lapangan kerja. Bertindak sekarang juga tidak akan semenyakitkan jika terlambat bertindak. Yang tidak kalah pentingnya yaitu komunikasi yang jelas tentang kebijakan ini, untuk menjaga kredibilitas kebijakan karena besarnya risiko penurunan downside. Misalnya, kejutan inflasi yang berkelanjutan akan memerlukan pengetatan moneter yang lebih tajam di luar perkiraan pasar, dan berpotensi menyebabkan volatilitas dan aksi penjualan sell-off lanjutan di pasar aktiva berisiko maupun pasar obligasi negara. Hal ini kemudian dapat mendorong arus keluar modal dari negara-negara emerging dan berkembang. Apresiasi dolar AS bertepatan dengan arus keluar portofolio dari pasar negara emerging mereka mengalami arus keluar selama empat bulan berturut-turut pada bulan Juni, dan ini merupakan yang terpanjang dalam tujuh tahun. Hal ini kian menambah tekanan pada negara-negara yang rentan. Jika guncangan eksternal begitu mengganggu sehingga tidak dapat diserap oleh nilai tukar yang fleksibel belaka, pembuat kebijakan harus siap untuk bertindak. Misalnya melalui intervensi valuta asing atau langkah-langkah manajemen aliran modal dalam skenario krisis, demi membantu ekspektasi anchor anchor expectations. Selain itu, diperlukan tindakan dini untuk mengurangi ketergantungan akan pinjaman mata uang asing di mana tingkat utangnya tinggi. Untuk membantu respons negara-negara dalam kondisi demikian, kami baru-baru ini memperbarui pandangan institusional IMF tentang isu ini. IMF juga ditingkatkan untuk melayani para negara anggota dengan cara lain, termasuk memberikan nasihat tentang pengelolaan aset cadangan dan bantuan teknis untuk memperkuat komunikasi bank sentral. Tujuannya adalah untuk mengantarkan semua orang dengan aman dalam menyeberangi siklus pengetatan ini. Kedua, kebijakan fiskal harus membantu—dan tidak menghalangi—upaya bank sentral untuk menurunkan inflasi Negara-negara yang menghadapi tingkat utang tinggi juga perlu memperketat kebijakan fiskal mereka. Hal ini akan membantu mengurangi beban pinjaman yang semakin mahal dan—secara bersamaan—mendukung upaya moneter untuk menjinakkan inflasi. Di negara-negara di mana pemulihan dari pandemi lebih maju, pengalihan dukungan fiskal luar biasa akan membantu mengurangi permintaan dan dengan demikian mengurangi tekanan harga. Namun itu baru sepotong dari cerita keseluruhan. Beberapa masyarakat akan membutuhkan tambahan dukungan, bukan pengurangan. Hal ini membutuhkan langkah-langkah yang ditargetkan dan bersifat sementara untuk mendukung rumah tangga yang rentan menghadapi guncangan-guncangan baru, terutama terkait harga energi atau pangan yang tinggi. Dalam situasi ini, bantuan langsung tunai terbukti efektif dibandingkan dengan subsidi distorsif atau pengontrolan harga, yang biasanya gagal mengurangi biaya hidup secara berkelanjutan. Pada jangka menengah, reformasi struktural juga penting untuk mendorong pertumbuhan. Pikirkan mengenai kebijakan pasar tenaga kerja yang dapat membantu masyarakat bergabung dengan angkatan kerja, terutama bagi perempuan. Langkah-langkah baru harus netral terhadap anggaran, artinya, didanai melalui pendapatan baru atau pengurangan pengeluaran di tempat lain tanpa menimbulkan utang baru dan menghindari untuk bertentangan dengan kebijakan moneter. Era baru dengan tingginya utang hingga memecahkan rekor, juga tingginya tingkat suku bunga, membuat semua hal tersebut semakin penting. Mengurangi utang sekarang menjadi kebutuhan mendesak—terutama di negara dan ekonomi emerging yang memiliki kewajiban dalam mata uang asing forex yang lebih rentan terhadap pengetatan kondisi keuangan global, dan di mana biaya pinjaman melonjak. Imbal hasil obligasi forex negara telah mencapai lebih dari 10 persen di sekitar sepertiga negara emerging, mendekati level tertinggi yang terakhir terlihat setelah krisis keuangan global. Negara-negara emerging dengan ketergantungan lebih besar pada pinjaman domestik, misalnya di Asia, telah lebih terisolasi dari dampaknya. Namun, perluasan tekanan inflasi dan kebutuhan untuk mengetatkan kebijakan moneter domestik secara lebih cepat dapat mengubah perhitungan tersebut. Situasinya semakin parah bagi perekonomian yang hampir—atau berada dalam—kesulitan utang, termasuk 30 persen negara-negara pasar emerging dan 60 persen negara-negara berpenghasilan rendah. Sekali lagi, IMF ada untuk para anggotanya dengan menawarkan saran dan analisis sesuai kebutuhan, serta kerangka pinjaman yang lebih luwes untuk mendukung untuk mendukung negara-negara di saat krisis. Hal ini termasuk pembiayaan darurat, peningkatan batas akses, likuiditas dan jalur kredit baru, serta alokasi SDR tahun lalu sebesar $650 miliar yang pertama kali dalam sejarah . Di luar upaya tersebut, sangat mendesak untuk adanya tindakan yang tegas dari seluruh pihak yang berkepentingan untuk meningkatkan dan menerapkan Kerangka Kerja Umum G20 G20 Common Framework untuk perlakuan pinjaman. Pemberi pinjaman skala besar—baik yang negara maupun swasta—perlu meningkatkan peran mereka. Waktu tidaklah berpihak pada kita. Sangat penting bagi komite kreditur Chad, Ethiopia, dan Zambia untuk memberikan kemajuan sebanyak mungkin pada pertemuan mereka bulan ini. Ketiga, kita membutuhkan dorongan baru untuk kerja sama global—dipimpin oleh G20 Untuk menghindari potensi krisis dan meningkatkan pertumbuhan serta produktivitas, tindakan internasional yang lebih terkoordinasi amatlah dibutuhkan. Kuncinya adalah untuk membangun kemajuan terkini di berbagai bidang, mulai dari perpajakan dan perdagangan hingga kesiapsiagaan menghadapi pandemi dan perubahan iklim. Dana baru G20 sebesar $1,1 miliar untuk pencegahan dan kesiapsiagaan pandemi menunjukkan sesuatu yang mungkin, seperti halnya juga keberhasilan baru-baru ini di World Trade Organization. Yang paling mendesak dari semuanya adalah tindakan untuk mengurangi krisis biaya hidup, yang telah mendorong 71 juta orang tambahan di negara-negara termiskin di dunia ke dalam jurang kemiskinan ekstrem, menurut laporan United Nations Development Program me. Di saat kekhawatiran yang meningkat terhadap pasokan makanan dan energi, risiko ketidakstabilan sosial pun meningkat. Untuk menghindari kelaparan, kekurangan gizi dan migrasi lebih lanjut, negara-negara maju di dunia harus memberikan dukungan mendesak bagi mereka yang membutuhkan, termasuk dengan pembiayaan bilateral dan multilateral baru, terutama melalui World Food Programme. Sebagai langkah segera, negara-negara perlu membatalkan pembatasan yang diberlakukan baru-baru ini terkait ekspor makanan. Mengapa? Karena pembatasan semacam itu berbahaya dan tidak efektif dalam menstabilkan harga domestik. Langkah-langkah lebih lanjut juga diperlukan untuk memperkuat rantai pasokan dan membantu negara-negara rentan untuk mengadaptasi produksi pangan dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Di sini, IMF juga siap membantu. Kami bekerja sama dengan para mitra internasional, termasuk melalui inisiatif baru mengenai ketahanan pangan multilateral . Selain itu, Resilience and Sustainability Trust kami yang baru akan menyediakan $45 miliar dalam pembiayaan lunak concessional financing untuk negara-negara yang rentan—dengan tujuan mengatasi tantangan jangka panjang seperti perubahan iklim dan pandemi di masa yang akan datang. Dan kami siap untuk berbuat lebih banyak. Kondisi yang teramat pelik di berbagai negara Afrika saat ini amatlah penting untuk dipertimbangkan. Dalam pertemuan saya dengan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari benua tersebut minggu ini, banyak yang menyoroti efek dari kejutan-kejutan yang sepenuhnya eksternal, yang telah mendorong ekonomi mereka ke ambang batas. Efek dari harga pangan yang lebih tinggi amat dirasakan masyarakat, karena makanan merupakan bagian terbesar dari pendapatan mereka. Tekanan inflasi, fiskal, utang dan neraca pembayaran semuanya mengalami peningkatan. Sebagian besar negara sekarang benar-benar tertutup dari pasar keuangan global; dan, tidak seperti daerah lain, mereka tidak memiliki pasar domestik yang besar untuk dituju. Dengan latar belakang masalah tersebut, mereka menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengambil langkah-langkah berani untuk mendukung rakyat mereka. Ini adalah panggilan yang perlu kita perhatikan. Di saat G20 bertemu untuk menghadapi lautan masalah’ ini, kita semua bisa mengambil hikmah dari peribahasa Bali yang mencerminkan semangat yang kita perlukan sekarang—menyama braya, “kita semua sanak saudara.” ***** Kristalina Georgieva biografi dalam link
PenyebabKrisis Ekonomi Global dan Cara Pemerintah Mengatasinya. Juni 29, 2016 September 3, Faktor penyebab yang kedua adalah adanya pelemahan harga komoditas, dan faktor ketiga adalah kebijakan moneter yang dilakukan oleh China dalam mendorong pertumbuhan ekonominya, misalnya dengan devaluasi Yuan. Pengaruh Ekonomi China terhadap Dunia .
- Baru-baru ini sejumlah pihak telah memprediksi akan terjadinya resesi dan krisis ekonomi global pada tahun 2023. Salah satunya disampaikan oleh Kepala Otoritas Jasa Keuangan OJK Mahendra Siregar. Namun, ia belum bisa memprediksi seberapa serius resesi yang akan terjadi dan berapa lama itu akan berlangsung. Seperti diberitakan Antara, Mahendra mengatakan, secara keseluruhan, ekonomi Indonesia akan terus tumbuh di atas 5 persen tahun 2022 dan 2023. “Jika dalam perkembangan selanjutnya kami merasa diperlukan kebijakan yang tepat untuk mencapai target tersebut, tentu kami akan merumuskan dan mengesahkan kebijakan tersebut,” ungkapnya. Definisi Resesi Secara umum, pengertian resesi adalah adanya penurunan atau kelesuan dalam kegiatan ekonomi. Hal ini terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama. Menurut Modul Hukum UMA 2022, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang spesifik. Dan terjadi dalam waktu yang lama, bisa berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Resesi ekonomi dapat menimbulkan berkurangnya keuntungan perusahaan, bertambahnya angka pengangguran dan kebangkrutan ekonomi. Secara garis besar, resesi dapat terjadi ketika ekonomi tidak bertumbuh selama dua kuartal berturut-turut. Menurut Forbes, terjadinya resesi tidak dapat dihindari. Karena merupakan bagian dari siklus bisnis serta kontraksi reguler yang dapat terjadi dalam perekonomian suatu negara. Resesi menyebabkan tingkat pengangguran tinggi, perusahaan menjual lebih sedikit dan output ekonomi negara menurun. Ciri-Ciri Negara yang Terancam Resesi Ekonomi Dilansir dari The Balance, ciri-ciri ancaman resesi di antaranya adalah terjadinya pertumbuhan kuartal negatif selama resesi berlangsung. Lalu, diikuti dengan pertumbuhan positif untuk beberapa triwulan. Namun, pertumbuhan kuartal kembali negatif. Resesi singkat pada umumnya terjadi selama 9 sampai 18 bulan. Akan tetapi, dampaknya dapat berlangsung lama. Pertanda awal terjadinya resesi adalah adanya perubahan dalam dunia industri manufaktur. Produsen akan menerima orderan barang tahan lama dalam jumlah yang besar beberapa bulan pesanan itu menurun seiring waktu, begitu pula pekerjaan pabrik. Ketika produsen berhenti merekrut, itu berarti sektor ekonomi lain akan melambat. Turunnya permintaan pembeli menjadi faktor penyebab lambatnya pertumbuhan. Ketika penjualan turun, maka bisnis akan berhenti berkembang. Resesi dimulai ketika produsen berhenti merekrut karyawan baru. Dampak dari Resesi Ekonomi Resesi ekonomi diharapkan tidak pernah terjadi dalam suatu negara. Resesi tidak berdampak pada pemerintah saja. Namun, juga pada perusahaan dan perorangan. Berikut dampak resesi seperti disadur dari Modul Hukum UMA 2022 1. Dampak resesi ekonomi bagi pemerintahResesi membuat pendapatan negara dari sektor pajak dan sektor non pajak menurun. Hal ini disebabkan pendapatan masyarakat yang menurun. Sehingga harga properti ikut turun dan menyebabkan minimnya jumlah PPN yang masuk ke kas negara. Saat penghasilan negara menurun, pemerintah tetap dituntut untuk membuka lowongan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Penyebabnya adalah tingkat pengangguran yang tinggi. Menyebabkan hutang ke bank asing bertambah. Disisi lain pembangunan terus berjalan di berbagai sektor pemerintahan, salah satunya menjamin kesejahteraan rakyat. Turunnya pendapatan pajak serta bertambahnya pembayaran kesejahteraan menyebabkan defisit anggaran. Selain itu, utang pemerintah juga bertambah. 2. Dampak resesi ekonomi bagi perusahaanPerusahaan akan terancam bangkrut ketika terjadi resesi ekonomi. Saat resesi daya beli masyarakat mengalami penurunan dan pemasukan perusahaan juga ikut turun. Hal tersebut dapat mempengaruhi kelancaran arus kas. Supaya terhindar dari kebangkrutan, perusahaan terpaksa melakukan perang harga. Akan tetapi, hal ini justru menyebabkan keuntungan turun dan harus ditutupi dengan efisiensi. Pada umumnya, perusahaan akan menutup jaringan bisnis yang tidak begitu menguntungkan. Memangkas biaya operasional juga bisa menjadi opsi lain. 3. Dampak resesi ekonomi bagi pekerjaEfisiensi yang dilakukan oleh perusahaan saat resesi berpengaruh bagi para pekerja. Menutup jaringan bisnis yang tidak begitu menguntungkan serta memangkas biaya operasional artinya adalah PHK kepada pekerja. Apabila terjadi PHK, maka angka pengangguran makin tinggi. Padahal tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup terus berjalan. Namun, pekerja yang tidak kena PHK juga berpotensi mengalami pemotongan gaji dan hak kerja yang lain. Baca juga Apakah Investasi Saham dan SBN Aman untuk Hadapi Resesi 2023? Tips Membeli Emas Batangan di Tengah Ancaman Resesi 2023 Sejarah 5 Resesi Terbesar di Dunia Ada Asian Crisis hingga OPEC - Pendidikan Kontributor Tifa FauziahPenulis Tifa FauziahEditor Yandri Daniel Damaledo
. 291 233 371 132 133 105 87 142

yang bukan faktor pengaruh krisis ekonomi global adalah